Pulau
Mansinam adalah salah satu pulau yang luasnya 410,97 Ha dan terletak di teluk
doreri sebelah selatan kota Manokwari. Saat ini bila masyarakat ingin
menjangkau pulau tersebut, cukup dengan menggunakan Perahu Tradisional atau
Long Boat dengan biaya Rp. 5000,- per orang.
Pada pulau
peradaban orang Papua tersebut juga terdapat beberapa obyek wisata alam seperti
pantai yang ditebari pasir putih yang indah untuk tempat berekreasi dan Gua
Kelelawar yang terdapat dibagian belakang pulau tersebut.
Di dasar
laut sekitar pulau itu juga terdapat beberapa bangkai kapal peninggalan perang
yang tentunya menjadi objek dan daya tarik wisata tersendiri bagi peminat taman
wisata bawah laut.
Selain itu,
Pulau mansinam juga menyimpan kenangan sejarah awal peradaban injil di Tanah
Papua, yang saat ini sudah menjadi tradisi umat kristiani untuk diperingati
setiap tahunnya. Tepatnya tanggal 5 Februari 1855.
Sejarah
mencatat bahwa saat itu ada dua missionaris berkebangsaan Jerman yaitu Carel
Willem Ottow dan Johann Gottlob Gissler menginjakkan kaki pertama kali di pulau
tersebut.
Selain tugu
peringatan Masuknya Injil di Tanah Papua, ada beberapa situs sejarah lainnya
yang dapat menjadi bukti peradaban injil, yakni Situs Gereja, Rumah, Asrama,
Sumur Tua dan beberapa Makam
Zendeling. Peristiwa ini kemudian menjadikan 5 Februari ditetapkan sebagai Hari
Pekabaran Injil di Tanah Papua.
Pada abad ke
15 sebelum masehi, dua orang penduduk asli Biak Pulau Nunfor yang bermarga
Rumbruren dan Rumbekwan memulai pelayarannya untuk mencari Manamaker yang
artinya pada bahasa tanah Biak Nunfor adalah Tuhan Yesus.
Mereka
berlayar menggunakan perahu dengan tujuan yang tidak menentu hingga tiba di
Manokwari (Pulau Mansinam dan Lemon). Pada saat itu di Teluk Mananswari dengan
bahasa Nunfor yang artinya Mulut Burung yang saat ini dikenal
dengan nama Teluk Doreri belum ada penghuninya, karena masyarakat asli tanah
tersebut saat itu hidup berpindah – pindah.
Setelah
beberapa hari tinggal di pulau mansinam, suatu siang mereka melihat ada
segumpalan asap dipinggir pantai Biriosi. Dua marga tersebut akhirnya
memutuskan untuk pergi ketempat tersebut, dengan harapan akan mendapatkan
masyarakat.
Namun
setelah tiba di pantai Biriosi, tidak terlihat satu masyarakat ditempat itu.
Hanya terdapat 1 ekor anjing (Yowiri) yang akhirnya berhasil ditangkap
Rumbruren dan Rumbekwan.
Pada leher
anjing tersebut dikalungi tali dengan 7 buah tulang ikan. Setelah itu mereka
melepas hewan itu kembali. Lewat 7 hari kemudian datanglah pemilik anjing
(Kepala Suku, Red) yang saat itu dikenal dengan nama Yarini, menemui Rumbruren
dan Rumbekwan, dimana pertemuan 3 orang tersebut ternyata tidak membuahkan
hasil yang menggembirakan.
Karena
saling tidak mengetahui bahasa, Yarini hanya menggunakan bahasa isyarat untuk
menyuruh Rumbruren dan Rumbekwan kembali kepulau asalnya (Nunfor), pasalnya
pada tempat tersebut terdapat setan (Suanggi) yang setiap saat membunuh
masyarakat. Namun sebelum pulang 2 marga asal Biak itu berjanji akan kembali
lagi ke Manokwari untuk membuat perhitungan dengan suanggi.
Lewat
beberapa waktu kemudian, Rumbruren dan Rumbekwan kembali ke Manokwari dengan
membawa seorang mambri dengan marga Rumfabe. Mereka lalu menyusun rencana untuk
menghabisi nyawa suanggi.
Suatu pagi
suanggi yang saat itu dikenal dengan nama Wetori bersama istrinya penasaran
dengan perahu yang dikemudikan oleh Rumbruren dan Rumbekwan dipesisir pantai
Teluk Mananswari. Namun sebelumnya Mambri (Rumfabe) sudah berada didalam air
pada tepi laut yang saat ini dikenal dengan nama Kwawi, sambil membawa panah
dan parang.
Pada pantai
tersebut terdapat bandar kayu panjang yang arahnya menuju laut. Dan diatas kayu
itu Wetori dan istrinya berpijak untuk memangsa Rumbruren dan Rumbekwan yang
berada diatas perahu.
Tapi
alangkah kagetnya Wetori ketika itu, karena anak panah yang digunakan Rumfabe
keburu menembusi jantung Wetori. Saat itu juga Wetori langsung terjatuh, disisi
lain istri Wetori langsung lari meninggalkan Wetori menuju hutan.
Kesempatan
itu lalu digunakan Rumbruren, Rumbekwan dan Rumfabe untuk memenggal kepala
Wetori dan di isi dalam 1 piring adat untuk dibawa ke Yarini di pantai Biriosi
sebagai tanda pembayaran adat.
Badan Wetori
lalu dibiarkan pada tempat itu hingga membusuk dan dimakan cacing. Tempat itu
lalu dinamakan Kwawi yang artinya “Cacing Makan Bangkai Wetori”.
Upacara adat
lalu dilakukan, karena setan atau pemangsa yang selama ini ditakuti masyarat,
telah berhasil dibunuh oleh Rumbruren, Rumbekwan dan Rumfabe, dimana saat yang
bersamaan juga dilakukan penukaran makanan.
“Nenami
– nami kokain, Kandaon nenami – namiwa kobur” itulah bahasa Tanah Nunfor yang
dikeluarkan oleh Rumbruren, Rumbekwan dan Rumfabe ketika hendak meninggalkan
Yerini dari Manokwari menuju Pulau Nunfor, yang artinya “Kitong Makan
kalau sampai rasanya enak kami akan tinggal, namun kalau tidak enak kami akan
pulang terus”.
Lewat
beberapa waktu kemudian 9 marga yang berbeda lalu berlayar dari pulau Biak
Nunfor menuju Manokwari dan bermukim pada pinggiran pantai fanduri waum, Dengan
bahasa Biak Nunfor artinya tempat bekumpul. Tempat tersebut saat
ini dikenal dengan nama Fanindi. Selain itu juga mereka bermukim pada pantai Padarni
Dengan bahasa Biak Nunfor artinya Tiang Lampu / Tempat berdiri
untuk memanggil orang.
Asal Mula
Gelar Sangaji
Setelah
menempati dan bermukim didaerah pesisir pantai Fanindi dan Biriori, 9 marga
tersebut lalu bersepakat untuk membuat 9 perahu untuk melakukan pelayaran
mencari Manamaker. (Sesuai komitmen awal Rumbruren dan Rumbekwan). Mereka lalu
berlayar menuju pantai selatan tepatnya tempat tersebut dikenal dengan nama
Kepulauan Raja Ampat.
Didaerah itu
mereka lalu bertemu dengan Sultan Todore. Mereka lalu menyembah dan menganggap
bahwa Sultan Tidore adalah Manamaker. Setelah bermukim beberapa saat di pulau
itu, suatu ketika dipinggiran pantai pulau Raja ampat terdapat beberapa kawanan
ikan cakalang yang sementara bermain, Sultan Tidore lalu memerintahkan 9 marga
ini untuk memanah kawanan ikan itu.
Namun dari
kesembilan marga hanya satu marga yaitu Burwos yang berhasil memanah ikan
cakalang tersebut. Saat itu juga Sultan Tidore memberikan gelar kepada Burwos
dengan sebutan Sangaji Kaday Burwos, Sedangkan 8 marga lainnya
diberi gelar Korano. 9 Marga itu lalu kembali menuju Manokwari
dan diantaranya bermukim di Pulau Mansinam, Pulau Lemon dan pesisir Teluk
Wasaibu.
3 Mujizat
Tuhan Sebelum Otow & Geisler
Sangaji
Kaday Burwos yang diberi gelar oleh Sultan Tidore pada kepulauan Raja Ampat,
setelah kembali ke Manokwari, membuat rumahnya di pinggir Pantai Nubaboi.
Posisi saat ini tepat berada didepan Sekolah Dasar yang berada di Pulau
Mansinam, sedangkan nama tempat sebelum berdirinya tugu peradaban orang papua
dulunya dikenal dengan nama Samidoy.
Setelah
bermukim beberapa waktu lamanya dipulau mansinam, pada Tanjung Pulau
Rarsmbari yang saat ini dikenal dengan nama Pulau Lemon,
Terdapat 1 buah kapal layar yang berlabuh disana. Kapal tersebut
ternyata dinakodai oleh Manamaker.
Dari atas
kapal itu, Manamaker lalu memanggil salah seorang masyarakat yang sementara
memancing. Orang tersebut dulunya dikenal dengan nama Manure. Manamaker lalu
menyuruh Manure untuk mengatarnya menggunakan perahu menuju kerumah Sangaji
Kaday Burwos.
Namun
setelah tiba dirumah Sangaji Kaday, Manamaker lupa membawa kantongnya pada
perahu yang berlabuh di tanjung Rarsmbari.
Mujizat
pertama yang dilakukan Manamaker adalah, memerintahkan Triton (Kerang) dan
payung untuk membawa kantongnya yang berada diatas kapal. Awalnya manamaker
menancapkan payung diatas kerang yang disaksikan oleh Sangaji serta serta
masyarakat pada pulau itu. Triton dan payung lalu bergerak sendiri menuju kapal
dan kembali membawa kantong Manamaker.
Mujizat
kedua, Setelah beberapa waktu lamanya tinggal di Pulau Mansinam bersama
Sangaji, mereka kehabisan makanan. Manamaker lalu memerintahkan Manure untuk
mengisi pasir yang berada di pantai pulau mansinam kedalam Hango (Panci Makan).
Usai
dilakukan perintah Manure lalu kembalikan panci berisi pasir dan air pada
Manamaker, dan saat itu juga muncul api dari atas kepala Manamaker guna memasak
pasir yang sudah berubah menjadi beras.
Mujizat
ketiga yang dibuat Manamaker sebelum pergi adalah 1 buah biji dari tanaman yang
dibuang ketanah dan berubah menjadi pohon mangga. Buah dari pohon itu lalu
dimakan bersama – sama oleh masyarakat di pulau mansinam. (Steven Yandeday)